Berikut ini saya berusaha menyajikan beberapa peristiwa sejarah berdarah yang berkaitan dengan sejarah kaum syi’ah. Dan yang menjadi patokan dalam sejarah berdarah ini hingga abad ke 8 adalah kitab al-Bidaayah wa an-Nihaayah (tahqiq: Doktor Abdullah bin Abdil Muhsin At-Turki, cetakan Daar Hajar, cetakan pertama, tahun 1419 H-1998 M) karya al-Imam Al-Haafiz Ibnu Katsiir As-Syafii rahimahullah (wafat tahun 774 H). Ibnu Katsir adalah salah seorang ulama besar dari Madzhab Syafii, penulis kitab terkenal Tafsiir ibnu Katsiir
Adapun sejarah setelah abad ke 8 maka saya merujuk kepada kitab-kitab yang lain. Berikut ini rangkaian sejarah berdarah kaum syi’ah :
PERTAMA : Terbunuhnya Umar bin al-Khotthob al-Faaruuq oleh Abu Lu’lu’ al-Majuusi sang pahlawan pemberani di mata kaum syi’ah
Pada tahun 16 Hijriyah, kaum muslimin berhasil menaklukkan 3 kota besar kerjaan Persia (Bahurosir, Madain, dan Jaluulaa) dibawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waaqoosh radhiallahu ‘anhu pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khotthoob al-Faruq. Pada bulan safar kaum setelah penyerangan besar akhirnya kaum muslimin berhasil menguasai kota Bahurosir, ibu kota kekaisaran Persia. Padahal sebelumnya Sa’ad bin Abi Waqqos telah mengirim Salman Al-Farisi kepada para pemimpin Bahurosir untuk mengajak mereka masuk Islam, akan tetapi mereka enggan, bahkan mereka enggan untuk membayar jizyah, mereka memilih untuk berperang.
Setelah pengepungan kaum muslimin dan peperangan yang sengit akhirnya kaum muslimin berhasil menembus pagar benteng dan istana Bahurosir lalu masuk ke dalamnya, akan tetapi ternyata Kisra Yazdajir telah kabur dengan mengendarai kapal ke kota Madain.
Setelah Sa’ad bin Abi Waqqos menyerang kota Madain, dan pada peperangan tersebut nampaklah mukjizat, dimana pasukan berkuda kaum muslimin yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqos dan ditemani oleh Salman Al-Farisi menyebarangi lautan seakan-akan mereka menyebarangi daratan, hingga akhirnya kaum muslimin berhasil menyebrangi lautan dan menguasai kota Madain.
Sekitar Sembilan bulan kemudian kaum muslimin menyerang kota Jalullaa dan berhasil membunuh sekitar 100 ribu tentara persia. (Lihat al-Bidaayah wa an-Nihaayah 10/5-22)
Hal ini menjadikan tumbangnya kerajaan Persia dan menjadikan sedihnya kaum majusi sehingga mereka menyimpan dendam yang pedih kepada Umar.
Pada tahun 23 Hijriyah Umar bin Al-Khotthoob dibunuh Abu Lu’lu’ah Fairuuz Al-Majuusi dengan cara pengecut. Ia membunuh Umar tatkala Umar memimpin sholat subuh, tiba-tiba iapun menikam Umar dengan sebuah pisau bermata dua, dengan tiga tikaman atau enam tikaman, salah satu tikaman mengenai bawah pusar Umar, yang membuat setiap makanan yang ditelan Umar maka keluar dari bawah pusar tersebut. Umar telah berdoa kepada Allah meminta agar mati syahid dan meninggal di kota Rasulullah. Tentunya hal ini merupakan perkara yang sulit dibayangkan, karena di zaman keemasan Umar, jihad dilakukan menyerang daerah kekuasaan Islam. Akan tetapi Allah mengabulkan doa Umar dan akhirnya Umar mati syahid dibunuh oleh seorang majusi. Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan seorang yang mengaku beriman, akan tetapi di tangan seorang yang tidak pernah sujud sekalipun kepada Allah” (Lihat al-Bidaayah wa an-Nihaayah 10/189-190)
Abu Lu’lu’ah inilah yang dijuluki sebagai pemberani oleh kaum syi’ah, dan kuburannya sangat diagung-agungkan karena berahasil membunuh Umar !!!. Tentunya ini merupakan pembalikan fakta, karena Abu Lu’lu’ah adalah seorang yang pengecut yang hanya berani menusuk Umar dari belakang tatkala ia sedang sholat. Lalu Abu Lu’luah inilah yang mati dengan membunuh dirinya sendiri !!!
Syi’ah berkata : “Abu Lu’lu’ah adalah seorang yang termuliakan dengan membunuh orang terburuk dari yang terduhulu maupun yang akan datang di atas muka bumi, orang yang paling zhalim terhdap Muhammad dan keluarganya yang suci. Allah telah memberi kelapangan bagi keluarga Muhammad melalui kedua tangan Abu Lu’lu’ah yang telah berhasil membunuh Umar sang terlaknat. Sebagian orang menyatakan bahwa Abu Lu’lu’ah meninggal dalam keadaan beragama nasrani, dan yang lainnya menyatakan beragama majusi, yang ketiga menyatakan beragama yahudi, semuanya telah keliru, karena Abu Lu’lu’ah adalah termasuk pembesar para mujahidin, bahkan termasuk pengikut setia Amirul Mukminin Ali bin Abi thalib. Dan Ali bin Abi Tholib telah mengabarkan bawha Abu Lu’lu’ah di surga” (silahkan lihat website kaum syi’ah di http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic/59091-).
Pengagungan kaum syi’ah terhadap Abu Lu’luah yang berhasil membunuh bukanlah suatu perkara yang aneh, karena di mata Syi’ah Umar bin Al-Khottob adalah syaitan.
Al-Majlisi –salah seorang ulama besar syi’ah- dalam kitabnya Bihaarul Anwaar berkata :
“Dari Abu Abdillah ‘alaihis salaam berkata tentang firman Allah :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا رَبَّنَا أَرِنَا الَّذَيْنِ أَضَلانَا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ نَجْعَلْهُمَا تَحْتَ أَقْدَامِنَا لِيَكُونَا مِنَ الأسْفَلِينَ (٢٩)
“Dan orang-orang kafir berkata: “Ya Rabb Kami perlihatkanlah kepada Kami dua jenis orang yang telah menyesatkan Kami (yaitu) sebagian dari jinn dan manusia agar Kami letakkan keduanya di bawah telapak kaki Kami supaya kedua jenis itu menjadi orang-orang yang hina“. (QS Fushhilat : 29)
Ia berkata, “Yaitu mereka berdua”, kemudian ia berkata, “Si fulan adalah syaitan”
Penjelasan : Yang dimaksud dengan si fulan adalah Umar. Maksudnya jin yang disebutkan dalam ayat ini adalah Umar. Hanya saja Umar disebut dengan jin karena ia adalah syaitan. Hal ini karena ia seperti syaitan, sebab ia adalah anak zina, atau karena ia adalah seperti syaitan dalam hal makar dan tipu daya. Dan berdasarkan yang terakhir ini maka memungkinkan sebaliknya bahwa yang dimaksud dengan si fulan adalah Abu Bakr” (Bihaarul Anwaar 30/270)
Adapun kuburan Abu Lu’lu’ah di kota Kasyaan silahkan lihat di (http://www.saowt.com/forum/showthread.php?t=34176)
Akan tetapi keberadaan kuburan Abu Lu’lu’ah di kota Kasyaan merupakan hal yang aneh, karena sebagaimana disebutkan dalam sejarah bahwasanya Abu Lu’lu’ah membunuh dirinya di kota Madinah di dalam masjid Nabawi, tentunya janazahnya dikuburkan di kota Madinah !!
KEDUA : Syi’ah Qoromithoh membantai jama’ah haji dan mencuri Hajar Aswad
Pada tahun 317 Hijriyah, pada hari tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Syi’ah Qoromithoh –yang dipimpin seorang rofidhi yang bernama Abu Thohir Sulaiman bi Abi Sa’id Al-Jannaabiy- memasuki kota Mekah dan membunuh para jama’ah haji di lorong-lorong kota Mekah, bahkan membunuhi jama’ah haji di masjidil haram, bahkan di dalam ka’bah.
Pimpinan mereka memerintahkan agar mayat-mayat dilemparkan di sumur zam-zam. Mereka juga mencungkil hajar aswad dan membawa lari hajar aswad bersama mereka hingga 22 tahun lamanya. (Lihat al-Bidaayah wa an-Nihaayah 15/37-39)
KETIGA : Pengkhianatan Ibnu al-‘Alqomiy ar-Rofidli dan Nashiiruddin At-Thuushi ar-Rofidhi yang menyebabkan terbunuhnya sejuta kaum muslimin di Baghdad
A. Ibnu al-‘Alqomi
Pada tahun 656 Hijriyah, Tatar berhasil merebut kota Baghdad dan membunuh mayoritas penduduk Baghdad, termasuk sang Khalifah al-Mu’tashim. Maka jatuhlah Dinasti Abbasiyah. (lihat al-Bidaayah wa an-Nihaayah 17/356-
Ibnu al-“alqomi adalah seorang perdana mentri Khalifah Abbasiyah Al-Mu’tashim, dan Al-Mu’tashim berada di atas madzhab Ahlus Sunnah sebagaimana dahulu ayah dan kakeknya juga berada di atas madzhab Ahlus Sunnah. Hanya saja al-Mu’tashim adalah seorang yang lembut dan kurang wasapada. Sang mentri (ibnu al-‘Alqomi) ar-Rofidi telah merencanakan tahapan-tahapan untuk meruntuhkan kerajaan, membasmi Ahlus Sunnah dan mendirikan negara di atas madzhab Rofidhoh. Iapun memanfaatkan kedudukannya sebagai perdana menteri kerajaan, sementara sang khalifah tidak sadar sehingga menjalankan arahan-arahan ibnu al-‘Alqomiy untuk meruntuhkan kerajaannya.
Program peruntuhan kerajaan yang dilancarkan oleh ibnu al-‘Alqomiy melalui tiga tahapan ;
Tahapan pertama : Mengurangi jumlah pasukan perang dengan memotong pemasukan para pasukan kaum muslimin. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Dan sang perdana mentri ibnu al-‘Alqomiy berusaha untuk memalingkan pasukan dan menjatuhkan jatah mereka dari diwan (*semacam catatan untuk pemberian gaji pegawai negeri, yang hal ini menjadikan para pasukan berhenti dari ketentaraan karena tidak mendapatkan gaji-pen). Pasukan perang kaum muslimin di akhir zaman khalifah al-Muntashir sekitar 100 ribu pasukan…, maka ibnu al-‘Alqomi senantiasa berusaha untuk memperkecil jumlah pasukan perang hingga akhirnya hanya tinggal 10 ribu pasukan” (Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 17/360)
Tahapan Kedua : Memberi kabar kepada Tatar tentang lemahnya kondisi pasukan kaum muslimin. Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
“Setelah itu Ibnu al-‘Alqomi mengirim kabar kepada Tatar dan memprovokasi mereka untuk merebut kota Baghdad, dan ia telah memudahkan mereka untuk hal itu dan ia menjelaskan kepada Tatar kondisi yang sebenaranya dan membongkar lemahnya pasukan. Semua ini ia lakukan karena keinginannya untuk menghilangkan As-Sunnah secara total dan menampakkan bid’ah Rofidhoh” (Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 17/360)
Tahapan Ketiga : Mencegah dan merayu Khalifah untuk berperang melawan pasukan Tatar dan menggambarkan bahkan Holako (panglima Tatar) ingin perdamaian.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
“Karenanya yang pertama kali menemui Tatar adalah ibnu al-‘Alqomiy. Ia keluar bersama keluarganya, para sahabatnya, para pembantunya dan para kerabatnya. Lalu iapun bertemu Holaku –semoga Allah melaknatnya- lalu ia kembali ke Khalifah dan menganjurkan Khalifah untuk keluar dan pasrah di hadapan Holaku supaya terjalin perdamaian atas kesepakatan bahwasan setengah penghasilan negeri Iraq buat Tatar dan setengahnya lagi buat Khalifah. Maka Khalifah pun harus keluar bersama dengan 700 pengendara tunggangan, yang terdiri dari para hakim, para fuqohaa, para ahli ibadah, para pembesar negara. Tatkala mereka mendekati tempat tinggal Holaku maka merekapun dihalangi dari Khalifah kecuali hanya 17 orang, maka Khalifah pun selamat dengan 17 orang tersebut, adapun sisanya diturunkan dari kendaraan mereka dan dirampok, serta dibunuh seluruhnya.”(Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 17/358)
Setelah itu Khalifah bertemu dengan Holaku dan membicarakan tentang perdamaian. Lalu Khalifah kembali ke tempat tinggalnya. Tatkala hendak bertemu dengan Holaku untuk yang kedua kalinya maka Ibnu al-‘Alqomiy mengusulkan kepada Holaku untuk membunuh Khalifah dan tidak menerima perdamaian yang ditawarkannya. Dikatakan pula yang mengusulkan untuk membunuh khalifah adalah Ibnu al-‘Alqomi dan Nasiiruddin At-Thuusiy Ar-Rofidhi, Nashiiruddin At-Thuusi berada bersama Holaku. (Lihat Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 17/259). Maka dengan hilah (kelicikan) Ibnu al-‘Alqomi ini terbunuhlah Khalifah bersama tokoh-tokoh dan para pembesar negara oleh Tatar dengan sangat mudah dan tanpa ada kesulitan sama sekali !!!
Setelah itu pasukan Tatar pun masuk ke dalam kota Baghdad dan membunuh seluruh penduduk, baik lelaki, wanita, anak-anak, orang-orang tua, tidak ada yang selamat kecuali para ahlu ad-dzimmah dari kalangan Yahudi, dan Nasrani, serta orang-orang yang berlindung kepada mereka dan berlindung di rumah sang perdana menteri Ibnu al-‘Alqomiy ar-Rofidhi. (lihat Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 17/359-360). Kisah pengkhianatan ibnu al-‘Alqomi ar-Rofidhi juga disebutkan oleh para ahli sejarah yang lain selain Ibnu Katsir, seperti Adz-Dzahabi dalam al-‘Ibar 5/225 dan As-Subkiy dalam Thobaqoot as-Syaafi’iyyah 8/262-263
Perhatikanlah para pembaca yang budiman, tujuan pengkhiantan ibnu al-‘Alqomiy tidak lain kecuali untuk membasmi ahlus sunnah dan menyebarkan madzhab rofidhoh -sebagaimana telah penjelasan ibnu Katsir-. Lihat pula bagaimana kedengkian kaum rofidhoh, disebutkan bahwasanya ibnu al-‘Alqomiy menjadi perdana menteri Khalifah al-Mu’tasim kurang lebih 14 tahun, tentunya ia telah banyak dimuliakan oleh sang Khalifah. Namun meskipun demikian ternyata dendamnya dan kebenciannya terhadap Ahlus Sunnah terus mengembara…!!!
Berita tentang Ibnu al-‘Alqomiy ar-Rofdhi ini juga dibenarkan oleh sejarawan syi’ah yang bernama al-Imam Ali bin Anjab, yang dikenal dengan Ibnu As-Sa’iy. Ibnu AS-Saa’iy ini adalah sejarawan yang berasal dari Baghdad yang meninggal pada tahun 674 Hijriyah, yang tentunya ia mendapati peristiwa pembantaian penduduk Baghdad yang terjadi pada tahun 656 Hijriyah. Muhsin Al-Amiin dalam kitabnya A’yaan Asyi’ah 1/305 telah memasukan Ibnu As-Saa’iy termasuk jajaran para ulama syi’ah.
Ibnu As-Saa’iy berkata :
Al-Mu’tashim adalah akhir para khalifah dinasti Abbasiyah, pada masa pemerintahannya Tatar menguasai Baghdad dan membunuh sang kahlifah al-Mu’tashim, dan dengan kejadian itu runtuhlah dinasti Abbasiyah dari tanah Iraq. Dan sebabnya adalah Perdana mentrinya yiatu Muayyiduddin bin al-‘Alqomiy yang dia adalah seorang Roofidhoh, dan dia dari penduduk al-Karhk, dan penduduk al-Karhk semuanya Rofidhoh. Maka terjadilah fitnah antara ahlus sunnah dan syi’ah di Baghdad –sebagaiamana biasa- maka Khalifah al-Mu’tashim memerintahkan pasukannya untuk merampas harta penduduk al-Karhk dan menzinahi para wanita di sana. Maka hal ini sangat berat bagi ibnu al-‘Alqomiy. Ia pun mengirim surat kepada Tatar dan memotivasi mereka untuk menguasai negeri Baghdad. Dikatakan bahwasanya tatkala sampai surat sang perdana mentri Ibnu al-Alqomiy kepada Holaku maka iapun merasa aneh, maka iapun masuk ke Baghdad dengan model seorang pedagang, lalu ia bertemu dengan sang perdana menteri dan para pembesar negera, dan iapun menetapkan beberapa kaidah bersama mereka, lalu ia kembali ke negerinya. Iapun mempersiapkan pasukan lalu berjalan menuju Baghdad dengan pasukan yang besar dari kalangan Mongol, lalu bermarkas di arah tenggara Baghdad pada tahun 656 Hijriyah. Lalu sang perdana menteri menemui mereka lalu meminta mereka untuk menjaga keluarganya lalu ia kembali menemui al-Khalifah al-Mu’tashim dan berkata bahwasanya “Holaku datang untuk menikahkan putrinya dengan putramu”. Ibnu al-Alqomiy terus merayu sang Khalifah hingga akhirnya ia berhasil menjadikan sang khalifah untuk pergi menuju Holaku, lalu merekapun menempatkan khalifah di sebuah kemah. Lalu ibnu al-‘Alqomi juga menjadikan para pembesar-pembesar Baghdad untuk pergi menuju Holaku, sekelompok demi sekelompok. Hingga akhirnya seeluruhnya berada di sisi pasukan Tatar, maka pasukan Tatarpun membunuh mereka dengan pedang-pedang mereka, dan juga membunuh sang khalifah al-Mu’atashim” (Mukhtashor Akhbaar al-Khulafaa hal 126, terbitan al-Mathba’ah al-Amiiriyah, Bulaaq, cetakan pertama tahun 1309 H)
B. Nashiiruddin At-Thuusiy
Al-Khumaini berkata :
“Dan orang-orang juga merasakan kerugian dengan hilangnya Sayyid Nashiiruddin At-Thuusiy, dan Al-‘Allaamah dan yang semisal mereka, dari orang-orang yang telah memberikan khidmah/sumbangsih yang nampak untuk Islam…” (Al-Hukuumah al-Islaamiyah, karya Al-Khumaini hal 128, bisa didownload di http://search.4shared.com/postDownload/aNiUh35V/___.html)
Sumbangsih yang dimaksudkan oleh al-Khumaini telah dibongkar sebelumnya oleh Al-Mirzaa Muhammad Baaqir al-Khawansaari Al-Asbahani (wafat 1313 H) dalam kitabnya Raoudhoot al-Jannaat, pada biografi Nashiiruddin At-Thuusi . Al-Khawansaari berkata :
“Diantara berita yang mashyur dan dinukilkan dan dihikayatkan dari At-Thuusi bahwasanya beliau membawa pergi sang sulton … Holaku Khoon… yang merupakan salah satu para raja besar dari Tatar, dan kedatangan At-Thuusi bersama pasukan Sulton Yang dikuatkan (*Yaitu Holaku) dengan kekuatan penuh menuju Daarus Salaam Baghdad untuk memberi petunjuk kepada para hamba dan perbaikan untuk negara-negara, untuk memutuskan rangkaian kezoliman dan kerusakan, untuk memadamkan api kezoliman dan kerancuan, dengan mebantai Raja Bani al-‘Abbaas, dan pelaksanaan pembunuhan masal/menyeluruh para pengikut orang-orang gembel tersebut, hingga mengalir dari darah-darah mereka kotoran-kotoran seperti sungai-sungai, maka mengalirlah darah-darah kotor tersebut dan melebur ke sungai Dujlah, dan setelah dari sungai Dujlah kemudian menuju neraka Jahannam, lembah kebinasaan, tempatnya orang-orang yang sengsara dan buruk” (Roudootul Jannaat fi Ahwaal al-Ulamaa’ wa as-Saadaat, jilid 6 hal 279, terbitan ad-Daar al-Islaamiyah, cetakan pertama 1411 H/1991 M)
Demikianlah peran Nasiiruddin At-Thuusiy dalam membumi hanguskan ratusan ribu kaum muslimin Ahlus Sunnah di Baghdad. Karena memang At-Thusiy adalah penasehat Holako. Al-Mirzaa Muhammad Baaqir al-Khawansaari juga berkata :
“Maka At-Thuusiy pun memotivasi Holaku untuk menguasai negeri Iraq. Maka Holaku pun bertekad untuk menguasai Baghdad, iapun menguasai negeri-negeri dan sekitarnya, serta membantai Al-Kholifah Al-Mu’tashim al-‘Abbaasi” (Roudhootul jannaat jilid 6 hal 293)
Lihatlah bagaimana sejarawan syi’ah Al-Mirza Muhammad Baaqir Al-Khawansaari begitu bangga dengan ulah at-Thuusiy yang dengan usulannya maka Holaku berhasil membunuh sejuta ahlus sunnah di Baghdad, bahkan Al-Khawansari sangat gembira dengan mengalirnya darah-darah ahlus sunnah ke sungai Dujlah, dan dia dengan berani menyatakan bahwa darah-darah tersebut akan menuju neraka jahannam !!!!!.
Kaum syi’ah memandang pengaturan at-Thuusiy untuk pembunuhan masal kaum muslimin termasuk manaqib at-Thuusiy, jasa besar at-Thuusiy. Menurut mereka pembunuhan masal kaum mulsimin ini merupakan jalan untuk memberi petunjuk kepada para hamba dan untuk memperbaiki negeri. Mereka memandang bahwa kaum muslimin yang meninggal dalam pembantaian ini akan masuk neraka. Apakah artinya Holako sang penyembah berhala –yang disifati dengan al-mu’ayyad (yang ditolong)- di atas kebenaran???. Lihatlah bagaimana besar kedengkian syi’ah terhadap kaum muslimin ahlus sunnah hingga dekat dengan para penyembah berhala dan memotivasi mereka untuk membantai ahlus sunnah. Bahkan pembantaian ahlus sunnah merupakan kejayaan bagi mereka !!!
KEEMPAT : Pembantaian As-Sofawi terhadap ahlus sunnah di Iran dan di Iraq pada aba ke 10 Hijriyah
Pembantaian ini diakui sendiri oleh kaum syi’ah, sebagaimana yang dituliskan oleh sejarawan syi’ah yang bernama Dr. Ali Al-Wardi dalam bukunya “Lamahaat Ijtimaa’iyah min Taariikh al-‘Irooq al-Hadiits”, yang buku ini dicetak di Iran. Sejarawan ini juga banyak menelaah kitab-kitab yang dikarang oleh para sejarawan syi’ah lainnya, karenanya ia sering menukil perkataan-perkataan mereka dalam kitabnya ini.
DR Ali Al-Wardi telah menjelaskan di awal bukunya, bahwa sesungguhnya merupakan pemahaman yang keliru dan tersebar adalah persangkaan banyak orang bahwasanya Syi’ah bersumber dari Iran. Yang sebenarnya Syi’ah bersumber dari Iraq, adapun di Iran maka mayoritas penduduknya adalah ahlus sunnah, meskipun ada sedikit kaum syi’ah yang tinggal di Iran. Kaum Syi’ah baru menjadi kuat bahkan berpusat di Iran setelah berdirinya negara As-Sofawiyah -pada abad 10 Hijriyah atau abad ke 16 Masehi- yang didirikan oleh seorang pemuda yang bernama Isma’il As-Sofawi yang berada di atas madzhab syi’ah imaamiyah itsnaa ‘asyariyah. (Lihat Lamhaat Ijtimaa’iyah jilid 1 hal 9-10). Karenanya Isma’il As-Sofawy ini sangat dipuji oleh kaum syi’ah (lihat Lamhaat Ijtimaa’iyah 1/56-57)
Dr. Ali al-Wardi berkata :
“Diriwayatkan dari Isma’il As-Sofawi, tatkala ia hendak menguasai kota Tibriz pada awalnya, dan ia ingin mewajibkan madzhab syi’ah kepada penduduk Tibriz dengan cara paksa maka sebagian penasehatnya dari para pemuka agama memberi nasehat kepadanya agar ia tidak melakukan pemaksaan tersebut karena 2/3 penduduk Tibriz dari kalangan ahlu sunnah, dan mereka tidak tahan mendengar cacian terhadap 3 khalifah (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) yang dilakukan di atas mimbar-mimbar. Akan tetapi Isma’il As-Sofawi berkata kepada mereka, “Aku telah ditugaskan untuk ini, dan Allah serta para imam yang ma’shum bersamaku, aku tidak takut kepada seorangpun. Jika aku mendapati dari masyarakat sebuah kata protes maka aku akan menghunuskan pedangku kepada mereka, dan tidak akan aku sisakan seorangpun dari mereka yang hidup” (Lamhaat Ijtimaa’iyah 1/57-58)
Bahkan Dr. Ali Al-Wardi mengakui bahwa cara penyebaran madzhab syi’ah adalah dengan memaki Abu Bakr, Umar, dan Utsman di mimbar-mimbar dan podium-podium. Dr. Ali berkata :
“Sarana penyebaran madzhab (*syi’ah).
As-Syaah Isma’il menjadikan pencelaan tiga khalifah (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) sebagai sarana untuk menguji penduduk Iran. Barangsiapa diantara mereka yang mendengar pencelaan maka wajib baginya untuk menjawab “Biis Baad Kam Maa Baad”, yaitu sebuah ungkapan yang dalam bahasa Adzarbedjan menunjukan bahwa sang pendengar setuju dengan celaan tersebut dan meminta tambahan celaan. Adapun jika yang mendengar celaan tersebut tidak mau mengucapkan ungkapan ini maka lehernya akan dipenggal seketika itu juga. Isma’il As-Sofawi telah memerintahkan kampanye memaki tiga khalifah di jalan-jalan, di pasar, dan di atas mimbar-mimbar sambil memperingatkan bahwasanya orang-orang yang protes maka akan dipenggal leher mereka” (Lamhaat Ijtimaa’iyah 1/58)
Selanjutnya DR Ali berkata :
Sarana propaganda dan pemantapan jiwa. Maka iapun memerintahkan untuk mengadakan perayaan
“Dalam rangka penyebaran madzhab syi’ah, As-Syaah Isma’il tidak hanya cukup dengan menggunakan cara menteror penduduk Ahlus Sunnah Iran, akan tetapi ia juga menggunakan cara yang lain, yaitu
Kematian al-Husain sebagaimana cara perayaan yang diterapkan sekarang. Perayaan ini sudah dimulai oleh Al-Buwaihiyun di Baghdaad pada abad ke 4 Hijriyah, akan tetapi perayaan ini dilalaikan dan menjadi melemah setelah mereka. Kemudian datanglah as-Syaah Isma’il pada akhirnya maka iapun mengembangkan perayaan ini dan menambah rangkaian dalam perayaan ini acara “Majelis at-Ta’ziyah” (*yaitu majelis menceritakan kesedihan dan derita yang terjadi pada Husain-pen) yang acara ini dijadikan oleh Isma’il sangat memberi pengaruh dalam hati. Dan bisa jadi benar perkataan bahwasanya perayaan ini adalah sebab terpenting dalam menyebarkan madzhab syi’ah di Iran, karena pada perayaan tersebut nampak sikap-sikap kesedihan, tangisan, dan disertai dengan banyaknya penyebaran dan lantunan bedug dan yang lainnya maka mengantarkan pada tertancapnya aqidah (syi’ah) dalam jiwa yang paling dalam dan mengetuk relung-relung hati yang tersembunyi” (Lamahaat Ijtimaa’iyah 1/59)
Selain pembantaian kaum muslimin Iran Ahlus Sunnah, Isma’il As-Sofawi juga melakukan pembantaian yang sama terhadap penduduk Ahlus Sunnah yang ada di Iraq. Dr. Ali al-Wardi berkata :
“Dan pada tahun 1508 Masehi As-Syaah Isma’il menguasai Baghdaad. Mayoritas buku-buku sejarah mengisyaratkan bahwasanya ia mensikapi penduduk Baghdad sebagaimana ia memperlakukan penduduk Iran sebelumnya. Maka ia pun terang-terangan mencaci para khalifah dan membunuh banyak ahlus sunnah serta menggali kuburan Abu Hanifah” (Lamahaat Ijtimaa’iyah min Taariikh al-‘Irooq al-Hadiits, DR Ali Al-Wirdiy, terbitan : Mathba’ah Amiir-Qum, Iran, cetakan pertama, jilid 1 hal 43)
KELIMA : Pembantaian Ahlus Sunnah zaman sekarang, seperti di Iran, Irak dan Syiria
Kekejaman sejarah berdarah kaum syi’ah tidaklah berhenti, hingga zaman sekarang ini betapa banyak kaum ahlus sunnah yang diintimidasi dan dibunuh baik di Iran maupun di Iraq. Terlebih-lebih lagi pembantaian ahlus sunnah di Syiria yang masih terus berlanjut hingga saat ini !!!
KEENAM : Pembantaian Ahlus Sunnah di masa depan
Pembantaian ini dilakasanakan oleh Imam Mahdi mereka Imam ke 12, yang akan membasmi Ahlus Sunnah, dimulai dengan pembunuhan Abu Bakar dan Umar bin Al-Khotthob radhiallahu ‘anhuma, dan diakhiri dengan pembantaian para pengikut mereka berdua atau mendoakan keridhoan bagi mereka berdua:
Tidak cukupkah pembantaian ahlus sunnah di masa lalu….
Tidak cukupkah pembantaian ahlus sunnah di masa kini…
Bahkan haruskah pembantaian ahlus sunnah di masa depan….
Meskipun ini hanyalah pembantaian khayalan di mata ahlus sunnah, akan tetapi ini adalah pembantaian yang menurut keyakinan kaum syi’ah akan benar-benar terjadi. Karenanya pembantaian ini merupakan gambaran pembantaian berdarah yang lebih berbahaya dari pembantaian-pembantaian sebelumnya. Karena pembantaian inilah cita-cita dan harapan, serta impian kaum syiah. Munculnya imam Mahdi mereka (imam ke 12) yang selama ini mereka nanti-nantikan dan mereka impikan, yang akan menegakkan negara syi’ah mereka, dan akan menghancurkan musuh-musuh mereka, terutama ahlus sunnah.
Pembantaian berdarah kubro ini tergambarkan menurut keyakinan kaum syia’ah melalui dua tahapan berikut :
Pertama : Penyaliban Abu Bakar dan Umar setelah menggali jasad mereka dari kuburan mereka
Kedua : Pembantaian seluruh ahlus sunah yang memiliki rasa cinta kepada Abu Bakar dan Umar, sedikit apapun kecintaan mereka
Al-Majlisi meriwayatkan :
“Dari Muhamad bin Sinan berkata, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam berkata kepada Umar : “Wahai orang yang terpedaya, sesunguhnya aku tidak melihatmu kecuali akan terbunuh di dunia oleh seorang budaknya Umu Mu’amar, engkau telah memberi hukuman kepadanya secara dzolim dan ia akan membunuhmu dengan taufiq (*dari Allah), maka iapun akan masuk surga karena membunuhmu meskipun engkau tidak suka. Dan sesunguhnya bagimu dan bagi sahabatmu yang engkau menggantikan kedudukanya (*yaitu Abu Bakar) sebuah salib dan pencabik-cabikan, engkau berdua akan dikeluarkan dari sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi, maka kalian berdua akan disalib di atas batang kurma yang kering maka keluarlah daun dari batang kering tersebut, hal ini menjadikan orang-orang yang berwala kepadamu terfitnah”.
Umar berkata, “Dan siapakah yang akan melakukan hal ini wahai Abul Hasan?”
Ali berkata, “Sebuah kaum yang telah memisahkan antara pedang-pedang dan sarung-sarungnya, maka akan didatangkan api yang telah dinyalakan untuk Ibrahim ‘alaihis salaam, dan akan datang Jarjis, Daniel, dan seluruh Nabi dan shidiiq, lalu datang angin yang akan menerbangkan/menghancurkan kalian di lautan” (Bihaarul Anwaar 30/276-277)
Ni’matulah al-Jazairi berkata :
“Dan penulis kitab “Muntakhob al-Bashoir’ telah meriwayatkan dengan sanad yang mu’tabar (valid) kepada al-Mufadhol bin Umar, ia berkata : Aku bertanya kepada sayyidku As-Shoodiq ‘alaihis salaam, Apakah waktu keluarnya imam mahdi diketahui manusia??…” (Al-Anwar An-Nu’maniyah 2/52)
Lalu Ni’matullahi al-Jazaairi membawakan dialog yang panjang antara al-Mufadhol dan As-Shoodiq hingga pada :
Al-Mufaddhol berkata, “Wahai tuanku, ke manakah al-Mahdi akan berjalan?”, Ia (as-Shodiq) berkata, “Ia pergi ke kota kakekku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jika ia telah sampai ke Madinah maka ia memiliki kedudukan yang menakjubkan. Nampaklah kegembiran kaum mukminin dan kehinaan orang-orang kafir”. Al-Mufaddhol berkata, “Tuanku, apakah itu?”. Ia (as-Shodiq) berkata, “al-Mahdi pergi ke kuburan kakeknya dan berkata, “Wahai manusia, ini adalah kuburan kakekku?”, mereka berkata, “Benar, wahai Mahdi Alu Muhammad”. Ia berkata, “Siapakah yang bersamanya di kuburan?”, mereka mengakatan, “Kedua sahabatnya Abu Bakar dan Umar”. Maka Mahdi berkata –padahal ia lebih tahu-, “Siapa Abu Bakar dan Umar?, bagaimana kok diantara manusia mereka berdua bisa dikuburkan bersama kakekku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam?, jangan-jangan yang dikuburkan bukanlah mereka berdua?”. Orang-orang berkata, “Wahai Mahdi ali Muhammad, yang ada di sini mereka berdua, bukan yang lain, dan mereka berdua dikuburkan bersama Nabi karena mereka berdua adalah khalifah Rasulullah, dan mereka berdua adalah ayah mertua dari dua istri Rasulullah”. Mahdi berkata, “Apakah salah seorang dari kalian mengenal mereka berdua?”. Orang-orang berkata, “Iya, kami mengenal sifat-sifat mereka berdua”. Mahdi berkata, “Apakah salah seorang dari kalian ragu tentang dikuburkannya mereka berdua di sini?’, orang-orang berkata, “Tidak”. Lalu setelah tiga hari al-Mahdi memerintahkan untuk menggali kuburan mereka berdua dan mengeluarkan keduanya. Maka keduanya (Abu Bakar dan Umar) pun dikeluarkan masih segar sebagaimana bentuk mereka berdua di dunia, lalu Mahdi membuka kafan keduanya, lalu memerintahkan untuk mengangkat keduanya di atas pohon yang kering, lalu keduanya disalib di atas pohon tersebut, maka pohon tersebut bergerak dan mengeluarkan dedaunan serta meninggi dan memanjang cabang-cabangnya. Maka orang-orang yang ragupun –dari kalangan yang berwalaa’ kepada mereka berdua- berkata, “Demi Allah sungguh ini benar-benar merupakan kemuliaan, sungguh kami telah beruntung mencintai mereka berdua dan berwala’ kepada mereka berdua”. Maka tersebarlah kabar mereka berdua, maka setiap orang yang memiliki rasa cinta kepada mereka berdua –meskipun hanya sebesar biji sawi- maka datang ke kota Madinah, lalu merekapun terfitnah dengan keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu seorang penyeru Mahdi berseru, “Kedua orang ini adalah telah bersahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka barangsiapa yang mencintai mereka berdua maka hendaknya berkumpul di suatu tempat, dan barang siapa yang membenci mereka berdua agar berkumpul juga di suatu tempat”. Maka manusiapun terbagi menjadi dua golongan, antara yang berwala dan yang membenci. Maka Mahdipun menunjukkan kepada para pecinta keduanya bahwa ia berbaroah (berlepas diri) dari mereka berdua. Maka mereka berkata, “Wahai Mahdi, kami tidak pernah berlepas diri dari mereka berdua, dan kami tidak pernah mengetahui bahwasanya ternyata mereka berdua memiliki kemuliaan seperti ini, maka bagaimana bisa kami berlepas diri dari mereka berdua, padahal kami telah melihat apa yang telah kami saksikan dari mereka berdua sekarang ini berupa cahaya mereka berdua, segarnya mereka berdua, serta hidupnya pohon yang kering dikarenakan mereka berdua?, bahkan demi Allah justru kami berlepas diri dari engkau dan dari orang-orang yang beriman kepadamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada mereka berdua dan dari orang-orang yang menyalib mereka berdua dan mengeluarkan mereka berdua dan melakukan apa yang telah dilakukan kepada keduanya”.
Maka Mahdipun memerintahkan angin yang menjadikan mereka seperti batang-batang korma yang tumbang, lalu Mahdi memerintahkan untuk menurukan mereka berdua lalu menghidupkan mereka berdua dengan izin Allah, lalu memerintahkan manusia untuk berkumpul lalu mahdi menegakan qisos kepada mereka…” (al-Anwaar an-Nu’maniyah 2/52).
bersambung…
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com